Budaya · Foto dan Teks · Hello Bali · Pariwisata

Sosok SAMAR Made Kaek: Stunning Artwork of Myths Attractively Reformed

Lukisan Made Kaek.

Oleh I Nyoman Darma Putra

Lukisan-lukisan Made Kaek menohok penikmatnya dari dua hal. Pertama, warna-warna otentik yang digunakan. Lebih tepat mengatakan bahwa dalam melukis Kaek bukan menggunakan tetapi menciptakan warna. Seperti kebanyakan pelukis hebat berbakat, Kaek pun telah melampaui tantangan meramu warna. Buktinya, warna-warna lukisan Kaek berada di luar dua belas warna dasar yang lazim dikenal lewat kotak pensil atau water colour anak sekolahan.

Kedua, lukisan Made Kaek dipenuhi dengan sosok-sosok yang cryptic atau samar. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyediakan enam arti kata ‘samar’, yaitu: kabur, sayup-sayup, tersembunyi, gaib, saru, kurang jelas.

CRYPTIC sublimity of Made Kaek

Enam arti itu ternyata perlu ditambah dalam pemakaiannya pada konteks lain dengan konotasi lain, misalnya ‘menyamar’, tidak saja berarti ‘menyembunyikan’ (diri) tetapi juga berkonotasi mengelabui, membuntuti, menghilangkan jejak. Kisah-kisah detektif atau kriminalitas banyak diwarnai dengan adegan atau tindakan penyamaran.

Untuk Kaek, selain arti-arti di atas, samar adalah akronim dari Stunning Artwork of Myths Attractively Reformed sehingga ditulis SAMAR. Crytic atau samar inilah yang menjadi ciri khas, karakteristik, atau identitas lukisan Kaek.

Made Kaek dan si bungsu, anak keempat.

Banyak pelukis Bali pendahulu Kaek yang juga memiliki keistimewaan dalam bentuk dan warna, seperti Nyoman Gunarsa, Made Wianta, Nyoman Erawan, dan Made Budiana. Mereka sudah memiliki identitas masing-masing. Gunarsa misalnya dikenal dengan gaya klasik-kontemporer atau ekspresionisme abstrak atau Wianta dengan identitas surealisme geometris.

Identitas itu dalam bahasa marketing menjadi brand atau branding. Betapa pun subjektif dan dinamisnya (tergantung label yang diberikan dan itu bisa berganti), branding itu adalah pencapaian estetik, pengayaan gaya dunia seni, dan juga modal marketing.

Gaya Amorf

Sama dengan pelukis-pelukis ternama Bali lainnya, Kaek pun oleh para pengamat sudah diberikan label atau branding dengan lukisannya bergaya amorf.

Di web katarupa.id ada dua tulisan yang melabel Kaek dengan karya bergaya amorf: “Pameran Tunggal ‘Amorf Made Kaek’ di Jimbaran Hub” (2021) dan “Made Kaek: Amorf dan Warna Warni Diri” (2022).Tulisan yang kedua hadir dalam terjemahan bahasa Inggris “Made Kaek: Amorphous and Colorful Self” (2022). Dalam ketiga tulisan itu Kaek identik dengan amorf.

Kata amorf, dibentuk dari kata morf, merupakan metatesis atau kocok-balik dari kata form yang berarti ‘bentuk’. Prefik a- menyelipkan makna ‘tidak’ atau ‘tanpa’. Bentuk-bentuk yang dikocok-balik (dari form menjadi morf) membuat yang ada menjadi jungkir balik namun maknanya tetap alias tidak ikut jungkir balik.

Pameran 9 Juli – 9 Agustus 2022.

Tulisan lain berjudul “Amorf, Dunia Soliter Made Kaek” (2021), karya penyair Warih Wisatsana sebagai pengantar untuk pameran Kaek dalam Borobudur Festival juga secara eksplisit mengungkapkan karya lukis Made Kaek dengan gaya amorf.

Lebih dari sekadar gaya, amorf merupakan ‘dunia soliter Made Kaek’ yang dimaknai sebagai “ekspresi diri pencipta yang telah melepas bebas, di mana bentuk, warna, garis, berikut ruang, bukan lagi semata medium atau sarana menyampaikan sesuatu”.

Intinya adalah amorf merupakan pilihan kreatif Kaek sebagai bentuk estetika pembebasan. Dari strategi kreatif ini dia memetik merk, branding, atau identitas sebagai pelukis abstrak amorf.

Warih melabel proses kreatif Kaek bersifat ‘soliter’, sunyi sendiri. Seperti label amorf, soliter ini pun sebuah subjektivitas. Di mata subjek lain, ‘soliter’ itu bisa menjadi ‘solider’, karena apa yang diekspresikan Kaek dalam lukisannya adalah representasi dari perasaan orang lain juga, seperti terbaca dalam sajak “Sihir Malam Made Kaek” (2021) karya penyair GM Sukawidana dalam antologi Lukisan Kabut (2022).

Bagaimana ekspresi kreatif individu Kaek dirasakan juga oleh orang lain, terasa dalam bait berikut:

sekawanan pemburu

berebut menyadap igaumu

lalu memasukkan ke dalam guci-guci arak

untuk ditenggak sampai matahari terbit

aku mengecap seteguk

serasa ada perih

dalam igau yang kau sepahkan

Sajak ini adalah tangkapan indah orisinal dari GM atas pentas melukis Kaek pada acara “Paras Paros Seni”, Sabtu, 26 Juni 2021 malam, di Jatijagat Kampung Puisi (JKP) Denpasar. Dalam acara di tengah pandemi itu, JKP mengundang seniman dari lintas bidang, termasuk pelukis, sastrawan, penari, dan pemusik untuk pentas bersama secara paras-paros dan/atau medley, sambung-sinambung, atau saling merespons.

Saat itu, kebetulan saya menonton, Kaek melukis di atas lembaran seng dengan warna dominan merah hitam. Pentas seni serupa juga dilakukan di beberapa tempat lain, termasuk di ARMA Museum, Ubud. Ungkapan “apa yang kau teriakkan dari taburan darahku” adalah pernyataan bahwa Kaek tidak saja melampiaskan keluh dan perih hatinya tetapi juga pedih gelisah orang lain; setidaknya orang lain juga merasakan apa yang dilontarkan Kaek.

Pentas di ruang publik plus respons penyair GM membuat soliter berubah menjadi solider. Penilaian ini menunjukkan bahwa lukisan-lukisan Kaek bukanlah amorf tanpa landasan, tetapi bentuk yang memiliki makna tersembunyi atau samar.

Gaya Samar

Selain GM Sukawidana, penyair Dewa Putu Sahadewa juga menulis sajak tentang Kaek. Bedanya, kalau GM menulis aspek solider, Sahadewa menggambarkan sosok dan gaya samar Kaek. Ciri Kaek yang samar diungkapkan dalam judul tetapi dengan istilah asing, kode yang menyembunyikan, alias secara samar.

Dalam sajak berjudul “Aku Mengundang Wajah-Wajah; Cryptic, Made Kaek” (Juni 2022) yang belum diterbitkan, Sahadewa menggunakan istilah bahasa Inggris cryptic, yang artinya ‘samar, rahasia, tersembunyi, sandi, gaib, tidak terang’.

Dalam bahasa Inggris, masih ada sembilan arti kata sifat ‘samar’ yang mirip dengan kamus Bahasa Indonesia. Arti yang jamak ini tidak perlu menjadikannya kabur atau tidak jelas, tetapi anugerah polisemi, banyak makna yang perlu dirayakan karena menyediakan pilihan diksi demi akurasi ekspresi.

Dalam sajak ini, Sahadewa berbicara tentang yang ‘samar’ dengan ‘samar’ pula. Diksi kata dasar ‘samar’ muncul dua kali bentukan berbeda namun medan makna sama: “berbagi tujuan tersamar” dan “semua samar”. Sosok wajah yang terlukis dalam kanvas Kaek memang tidak jelas, entah binatang atau orang. Keduanya dibuat samar.

Menyajikan yang samar itulah, menurut sajak Sahadewa, yang merupakan tujuan kreatif Made Kaek. Bentuk yang digunakan dan tujuan yang hendak disampaikan sama-sama ‘samar’ atau ‘tersamar’.

Kalau amorf adalah sosok yang tidak berbentuk (shapeless), maka dalam sajak ini, Sahadewa menyebutkan bahwa karya Kaek menyajikan atau mewujudkan “wajah bawah sadar” dalam karyanya. Lukisan itu memberikan kegairahan ‘aneh’ karena ‘semua samar’, semuanya misterius atau gaib, seperti terbaca dalam kutipan berikut:

Hari ini

aku mengundang

seluruh wajah bawah sadar

yang kau wujudkan

memantik gairah aneh,

memaku langkahku,

melenyapkan tubuhku

semua samar.

Samar menjadi konsep yang menantang untuk mencari makna tanpa batas. Kalau semuanya jelas, perjuangan menemukan makna akan berhenti, tidak ada lagi kreativitas. Dengan kata lain, samar bukanlah jawaban ketika makna tidak ditemukan atau relativitasnya disepakati, tetapi awal dari pencarian tiada henti yang mesti dinikmati.

Preformed, Reformed, Performed

Berbicara tentang bentuk yang tampil dalam lukisan Kaek dan penasaran yang diakibatkan, ada tiga istilah menarik yang saling berkait yang kiranya perlu dipahami: preformed, reformed, perform.

Istilah pertama, preformed mengacu pada bentuk yang lazim, yang sudah ada. Sosok makhluk hidup yang normal, yang kita kenal, lazim, adalah bentuk-bentuk preformed. Istilah reformed mengacu pada bentuk-bentukan baru yang didekonstruksi dari yang lazim sehingga tampak aneh jika diihat dari preformed.

Wajah patung manusia yang berbelelai gajah (Ganesha) atau gajah berbadan ikan (Gajahmina) adalah contoh reformed yang didekonstruksi lewat persandian. Istilah performed mengacu pada yang dipertunjukkan sebagai performance (pertunjukan).

Keterpikatan pada karya Kaek terjadi karena sosok aneh yang ditampilkan. Sosok manusia bertubuh hewan/binatang, tanpa kaki, tanpa bentuk yang jelas; manusia bukan, binatang bukan. Tengkorak bukan. Makhluk hidup bukan. Makhluk mati juga bukan.

Lukisan Kaek sebagai sampul buku, menjadi buku kritik sastra terbaik 2021.

Kadang bertanduk, kadang berbulu atau rambut tajam bagai bara api. Kadang kepala plontos, kadang polos tanpa bulu, kadang gimbal. Kadang mulut panjang-lebar, bergigi seperti gergaji, kadang pawah (tanpa gigi). Sosok bertubuh meleleh. Bisa berkaki dua, kadang berkaki lima. Serba aneh. Orang Bali bilang soleh atau tawah. Konotasi tawah adalah beda, lain, aneh, tapi guyon, dan menghibur ibarat pertunjukan.

Semua konsep kita tentang kelaziman atau bentuk-bentuk yang sudah biasa, yang sudah ada (preformed) diubah (reformed) oleh Kaek menjadi yang lain, samar. Bentuk-bentuk itu disajikan dari satu kanvas ke kanvas lainnya untuk dipertunjukkan (performed) kepada audiens.

Banyak lukisan Kaek menampilkan multisosok yang berhubungan satu sama lain dengan akrab atau acuh sehingga hadir seperti karnaval. Semakin ingin kita memahami karnaval lukisan Kaek sebagai hal yang wajar, semakin gelisah kita dibuatnya. Karnaval sendiri adalah dunia jungkir balik di mana status sosial tidak lagi ditegakkan.

Seperti dalam arak-arakan ogoh-ogoh di Bali, peserta karnaval bisa berteriak kasar kepada siapa saja termasuk orang dengan status sosial tinggi di masyarakat karena dalam arak-arakan itu status menjadi blur atau kabur atau samar atau semu. Semua semu atau semu semua.

Sesungguhnya bukan keanehan benar menggelisahkan jiwa, tetapi pada ketidaksiapan kita memberi nama pada karya Kaek. Tiada terhitung jumlah keanehan di sekitar kita. Tak hanya peristiwa aneh yang tidak pernah terbentuk sebelumnya, tetapi banyak pula keanehan yang menjadi bagian dari tradisi atau sistem kepercayaan.

Lihatlah bentuk-bentuk artefak budaya seperti sosok barong, rangda,patung-patung batu atau kayu di (tembok) pura, sosok dewa seperti ganesha (manusia berkepala gajah), gajahmina (ikan berkepala gajah), atau raksasa, seperti kalarau (raksasa penelan bulan), ameng-ameng (satpam) atau celuluk (setan) bermulut besar bergigi rangap.

Semua bentuk rupa itu aneh jika dilihat dengan logika atau kaca mata normal yang terperangkap dalam melihat manusia normal, binatang normal, atau sosok makhluk lain yang normal, yang bersifat preformed dalam alam pikiran kita. Akan tetapi, semua sosok atau bentuk rupa itu tidak pernah dianggap aneh oleh orang Bali. Mengapa?

Saya kira karena semua wujud ‘aneh’ itu sudah memiliki nama, ada mitosnya. Andaikan setiap sosok lukisan Kaek bisa diberikan nama, niscaya dia akan diterima, tak aneh apalagi amorf. Ada lukisan Kaek yang menggambarkan sosok tanpa badan tanpa tangan hanya kaki yang pangkal atasnya berisi kepala menyerupai manusia yang serem.

Saya sodorkan lukisan itu kepada Putu Eka Guna Yasa, kolega ahli sastra Bali/Jawa Kuna di Fakultas Ilmu Budaya Unud. Guna menyebutkan sosok itu sebagai ‘keteg-keteg’, sebuah nama dengan asosiasi langsung pada langkah kaki besar yang membuat tanah yang diinjak bergetar, berdebam. Ketika nama bisa disematkan, maka tidak berlaku lagi konsep amorf. Konsep lukisan abstrak pun mestinya gugur.

Kalau orang diminta menggambar atau membuat sosok makhluk hidup bergigi besar, payudara besar, lidah panjang, maka dibuatlah celuluk. Keanehan celuluk jika diukur dengan wajah manusia tidak terasa lagi karena sudah diberi nama pasti. Bentuk sesuai mitos, mitos membantu menyusun bentuk. Kingkong yang aneh tidak menjadi aneh karena telah bernama. Begitu juga dengan makhluk lainnya seperti dinosaurus. Semuanya menjadi bagian dari mitologi.

Bedanya dengan Kaek, dia mungkin tidak menciptakan bentuk-bentuk anehnya itu berdasarkan mitos, sehingga masyarakat tidak memiliki kesan, citra, apalagi nama atas sosok amorf Kaek. Memberikan nama lukisan-lukisan Kaek sebagai amorf tanpa bentuk adalah pekerjaan awal yang tidak cukup hanya sampai di situ. Bukan salah Kaek tidak melukis dari mitos, tetapi tugas kitalah untuk melakukan salah satu atau kedua hal ini.

Pertama, jangan melihat apa yang ada dalam kanvas Kaek dengan kriteria normal. Hindari mengukur sosok yang dilukis dengan kriteria manusia, binatang, bentuk yang normal atau preformed. Kedua, membantu Kaek untuk menemukan, menciptakan, memberikan nama atas sosok-sosok dalam lukisannya.

Jika mitosnya tidak ada, tugas kita untuk menciptakan mitosnya. Mitos tidak jatuh dari langit, tapi diciptakan, disosialisasikan terus-menerus sampai akhirnya diterima tanpa dipertanyakan.

Mitos wong samar atau manusia/sosok gaib bisa dijadikan payung untuk menjelaskan atau memberi nama sosok-sosok dalam lukisan Kaek. Kesamaran arti wong samar itu memberikan ruang luas bagi kita untuk memberikan nama untuk setiap sosok-sosok samar dalam kanvas Kaek.

Bila proses mitologisasi karya-karya Kaek berhasil bukan saja akan membuat lukisan Kaek menjadi lebih jelas gayanyanya daripada sebatas abstrak amorf, tetapi juga akan ikut memperkaya bentuk dan makna intertekstualitas antara mitos dan seni rupa, sebuah praktik yang sudah sangat kental dalam dunia seni budaya Bali.

Kita berharap agar pada karya-karya Kaek, konsep encryptic atau samar benar-benar akan menjadi akronim SAMAR untuk Stunning Artwork of Myths Attractively Reformed.

Akhirnya, yang diperlukan oleh karya-karya Made Kaek agar tidak disebut aneh, amorf, adalah nama. Memberikan nama itu menjadi tugas kita sebagai audiens sekaligus sebagai warga dunia seni budaya. ***

Tulisan ini merupakan pengantar katalog pameran Cryptic Made Kaek, 9 Juli – 9 Agustus 2022.

One thought on “Sosok SAMAR Made Kaek: Stunning Artwork of Myths Attractively Reformed

Leave a comment